Jumat, 05 Desember 2014

KAJIAN PROSA FIKSI (TEMA)



BAB I
PENDAHULUAN

Setiap kali membaca karya novel maupun karya fiksi, bagi para pembaca pastilah tidak hanya bertujuan untuk membaca alur ceritanya saja, tetapi pembaca juga akan mempertanyakan apa yang ingin diungkapkan pengarang melalui karyanya atau apa makna yang terkandung yang ingin disampaikan pengarang lewat isi cerita tersebut. Mempertanyakan makna sebuah karya sastra, sebenarnya juga mempunyai arti mempertanyakan tema yang terkandung di dalam karya sastra tersebut. Setiap karya sastra maupun karya fiksi pastilah mengandung atau menawarkan sebuah tema yang terkandung di dalam cerita, namun apa isi tema itu sendiri tidak mudah ditunjukan.
Semi (1984:35) menyatakan bahwa tema merupakan suatu gagasan sentral, sesuatu yang hendak diperjuangkan dalam suatu tulisan atau karya fiksi. Sedangkan Muhardi dan Hasanudin (1992:8) menyatakan bahwa tema adalah inti permasalahan yang hendak dikemukakan pengarang dalam karyanya. Oleh sebab itu tema merupakan hasil konkluksi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan dan latar. Jadi dapat disimpulkan bahwa tema yaitu suatu pokok / inti persoalan yang mendasari suatu cerita.
Untuk menemukan sebuah tema dalam sebuah karya fiksi, ia haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu dari cerita (Nugiantoro:1995:68) walau tema sulit ditemukan secara pasti, ia bukanlah makna yang ”disembunyikan”, walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Dalam makalah ini, penulis akan menjabarkan dan menerangakan apa itu hakikat tema, penggolongan tema, serta penafsiran tema dalam sebuah karya fiksi.


BAB II
PEMBAHASAN

a)      Hakikat Tema
Pengertian tema sebagai salah satu unsur karya sastra, maupun untuk mendeskripsikan pernyataan tema yang dikandung dan ditawarkan oleh sebuah cerita novel. Kedua hal itu memang berkaitan. Kejelasan pengertian tema akan membantu usaha penafsiran dan pendeskripsian pernyataan tema sebuah karya fiksi. Tema (theme), menurut Stanton (1965:20) dan Kenny (1966: 88), adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko dan Rahmanto, 1986: 142). Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Pengertian tema menurut Staton (1965: 21) yaitu yang mengartikan tema sebagai makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema menurutnya, kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose).

b)      Permasalahan Tema Dan Kaitannya Dengan Unsur Cerita Yang Lain.
Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman) kehidupan. Melalui karyanya itulah pengarang menawarkan makna kehidupan, mengajak pembaca untuk melihat, merasakan, dan menghayati makna (pengalaman) kehidupan tersebut dengan cara memandang permasalahan itu sebagaimana ia memandangannya. Oleh karena itu, banyak pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan kehidupan itu menjadi tema dan atau sub-sub tema ke dalam karya fiksi sesuai dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan. Pemilihan tema-tema tertentu ke dalam sebuah karya, sekali lagi, bersifat subjektif: masalah kehidupan manakah yang paling menarik perhatian pengarang sehingga merasa terdorong untuk mengungkapkannya ke dalam bentuk karya. Atau pengarang menganggap masalah itu penting, mengharukan, sehingga ia merasa perlu untuk mendialogkannya ke dalam karya sebagai sarana mengajak pembaca untuk ikut merenungkannya.
Tema dalam sebuah karya sastra, fiksi hanyalah merupakan salah satu dari sejumlah unsur pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah kemenyeluruhan. Tema sebuah cerita tidak mungkin disampaikan secara langsung, melainkan hanya secara implisit melalui cerita. Unsur-unsur ceria yang lain, khususnya yang oleh Stanton dikelompokkan sebagai fakta cerita-tokoh, plot, latar-yang bertugas mendukung dan menyampaikan tema tersebut.
Di pihak lain, unsur-unsur tokoh (dan penokohan), plot (dan pemplotan), latar (dan pelataran), dan cerita, dimungkinkan menjadi padu dan bermakna jika di ikat oleh sebuah tema. Tema bersifat memberi koherensi dan makna terhadap ke empat unsur tersebut dan juga berbagai unsur fiksi yang lain. Plot dipihak lain, berkaitan erat dengan tokoh cerita. Plot pada hakikatnya adalah apa yang dilakukan oleh tokoh dan peristiwa apa yang terjadi dan dialami tokoh (Kenny, 1966: 95). Plot merupakan penyajian secara linear tentang berbagai hal yang berhubungan dengan tokoh, maka pemahaman kita terhadap cerita amatditentukan oleh plot. Latar merupakan tempat, saat, dan keadaan sosial yang menjadi wadah tempat tokoh melakukan dan dikenai sesuatu kejadian. Latar bersifat memberikan aturan permainan terhadap tokoh. Latar akan mempengaruhi tingkah laku dan cara berpikir tokoh, dan karenanya akan mempengaruhi pemilihan tema. Atau sebaliknya, tema yang (sudah) dipilih akan menuntut pemilihan latar (dan tokoh) yang sesuai dan mampu mendukung.

c)      Penggolongan Tema
a.       Tema Tradisional dan Nontradisional
Tema tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang hanya itu-itu saja, dalam arti ia telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai cerita, termasuk cerita lama. Tema-tema tradisional walau banyak variasinya, boleh dikatakan selalu ad kaitannya dengan masalah kebenaran dan kejahatan (Meredth & Fitzgerald, 1972: 66). Pada umumnya tema-tema tradisional merupakan tema yang digemari orang dengan status sosial apa pun, di manapun, dan kapanpun. Hal itu disebabkan pada dasarnya setiap orang cinta akan kebenaran dan membenci sesuatu yang sebaliknya, (bahkan mungkin) termasuk orang yang sebenarnya tak tergolong baik sekalipun.
Selain hal-hal yang bersifat tradisional, tema sebuah karya mungkin saja mengangkat sesuatu yang tidal lazim, katakan sasuatu yang bersifat nontradisional. Karena sifatnya yang nontradisional, tema yang demikian, mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi afektif yang lain.
b.      Tema Utama dan Tema Tambahan
Tema pada hakikatnya merupakan makna yang dikandung cerita, atau secara singkat : makna cerita. Makna cerita dalam sebuah fiksi-novel, mungkin saja lebih dari satu, atau lebih tepatnya lebih dari satu interpretasi. Hal inilah yang menyebabkan tidak mudahnya kita untuk menentukan tema pokok cerita, atau tema mayor (artinya : makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu). Menentukan tema pokok sebuah cerita pada hakikatnya merupakan aktivitas memilih, mempertimbangkan, dan menilai, diantara sejumlah makna yang ditafsirkan ada dikandung oleh karya yang bersangkutan.
Makna pokok cerita tersirat dalam sebagian besar, untuk tidak dikatakan dalam kesekuruhan cerita bukan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu cerita saja. Makna yang hanya terdapat pada bagian –bagian tertentu cerita dapat diidentifikasi sebagai makna bagian, makna tambahan. Makna-makna tambahan inilah yang dapat disebut sebagai tema-tema tambahan, atau tema minor. Dengan demikian, banyak sedikitnya tema minor tergantung pada banyak sedikitnya makna tambahan yang dapat ditafsirkan dari sebuah cerita novel. Penafsiran makna itu pun haruslah dibatasi pada makna-makna yang terlihat menonjol, disamping mempunyai bukti-bukti konkrit yang terdapat pada karya itu yang dapat dijadikan dasar untuk mempertanggungjawabkannya. Artinya, penunjuk kan dan atau penafsiran sebuah makna tertentu pada sebuah karya itu bukannya dilakukan secara ngawur saja.

c.       Tingkatan Tema Menurut Shipley
Shipley dalam Dictionary of World literature (1962: 417), mengartikan tema sebagai subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam cerita. Shipley membedakan tema-tema karya sastra ke dalam tingkatan-tingkatan semuanya ada lima tingkatan berdasarkan tingkatan pengalaman jiwa, yang disusun dari tingkatan yang paling sederhana, tingkat tumbuhan dan makhluk hidup, ke tinggkat yang paling tinggi yang hanya dapat dicapai oleh manusia. Kelima tingkatan tema tersebut sebagai berikut.
1.      Tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) molekul, man as molecul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan oleh banyaknya aktifitas fisik dari pada kejiwaan.Ia lebih menekankan mobilitas fisik dari pada konflik kejiwaan tokoh cerita yang bersangkutan. Unsur latar dalam novel dengan penonjolan tema tingkat ini pendapat penekanan.
2.      Tema tingkat organik, manusia sebagai ( atau dalam tingkat kejiwaan) protoplasma, man as protoplasm. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas- suatu aktifitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup. Berbagai persoalan kehidupan seksual manusia mendapat penekanan dalam novel yang bersifat menyimpang, misalnya berupa penyelewengan dan penghianatan suami istri, atau skandal-skandak seksual yang lain.
3.      Tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socious. Kehidupan bermasyarakat, yang merupakan tempat aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik, dan lain-lain yang menjadi objek pencarian tema.masalah-masalah sosial itu antara lain berupa masalah ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan atasan-bawahan dan berbagai masalah dan hubungan sosial lainnya yang biasanya muncul dalam karya yang berisi kritik sosial.
4.      Tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as individualism. Disamping sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa “menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Masalah individu itu antara lain berupa masalah egoisitas, martabat, harga diri atau sifat dan sikap tertentu manusia lainnya, yang pada umumnya lebih bersifat batin dan dirasakan oleh yang bersangkutan. Masalah individualitas biasanya menunjukkan jati diri, citra diri, atau sosok kepribadian sesearang.


d)     Penafsiran Tema
Penafsiran tema sebuah novel memang bukan pekerjaan yang mudah. Walau betul penulisan sebuah novel didasarkan pada tema atau ide tertentu, pernyataan tema itu sendiri pada umumnya tidak dikemukakan secara eksplisit. Tema hadir dan berpadu dengan unsur-unsur struktural yang lain sehingga yang kita jumpai dalam sebuah novel adalah (hanya) cerita dan kedudukan tema tersembunyi dibalik cerita itu. Penafsiran tema terhadap suatu karya sastra atau fiksi haruslah dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita itu. Kita haruslah mulai dengan memahami cerita itu, mencari kejelasan ide-ide perwatakan, peristiwa-peristiwa-konflik, dan latar. Para tokoh utama biasanya dibebani tugas membawakan tema, maka kita perlu memahami keadaan itu. Secara lebih khusus dan rinci, Stanton (1965: 22-3) mengemukakan adanya sejumlah kriteria yang dapat di ikuti  dalam penafsiran tema seperti berikut :
1.      penafsiran tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detil cerita yang menonjol. Kriteria ini merupakan hal yang paling penting. Hal itu disebabkan pada detil-detil yang menonjol (atau ditonjolkan) itulah yang dapat diidentifikasi sebagai tokoh masalah-konflik utama pada umumnya sesuatu yang ingin disampaikan ditempatkan.
2.       penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak bersifat bertentangan dengan tiap detil cerita. Novel, sebagai salah satu genre sastra, merupakan suatu sarana pengungkapan keyakinan, kebenaran, ide, gagasan, sikap dan pandangan hidup pengarang, dan lain-lain yang tergolong unsur isi dan sebagai sesuatu yang ingin disampaikan.
3.       penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tak langsung dalam novel yang bersangkutan.
4.      penafsiran tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang disarankan dalam cerita.

BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
a)      bahwa tema merupakan suatu pokok / inti persoalan yang mendasari suatu cerita. Tema biasanya diangkat dari masalah kehidupan. Tema dalam sebuah karya sastra hanya berupa makna atau gagasan dasar umum suatu cerita. Dengan demikian, tema akan menjadi sebuah makna cerita jika terdapat keterkaitannya dengan unsur-unsur cerita lainnya.
b)      Tema dapat digolongkan menjadi 3 kelompok:
1.      Penggolongan tema yang bersifat tradisional dan tema nontradisional.
2.      Penggolongan dilihat dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley.
3.      Penggolongan dari tingkat keutamaannya.
c)      Penafsiran tema terhadap suatu karya sastra atau fiksi hendaknya dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita itu. Seperti, dengan memahami cerita itu, mencari kejelasan ide-ide perwatakan, peristiwa-peristiwa-konflik, dan latar. Para tokoh utama biasanya dibebani tugas membawakan tema, maka kita perlu memahami keadaan seperti demikian itu.


DAFTAR PUSTAKA




Tidak ada komentar:

Posting Komentar