BAB I
PENDAHULUAN
Setiap
kali membaca karya novel maupun karya fiksi, bagi para pembaca pastilah tidak
hanya bertujuan untuk membaca alur ceritanya saja, tetapi pembaca juga akan
mempertanyakan apa yang ingin diungkapkan pengarang melalui karyanya atau apa
makna yang terkandung yang ingin disampaikan pengarang lewat isi cerita
tersebut. Mempertanyakan makna sebuah karya sastra, sebenarnya juga mempunyai
arti mempertanyakan tema yang terkandung di dalam karya sastra tersebut. Setiap
karya sastra maupun karya fiksi pastilah mengandung atau menawarkan sebuah tema
yang terkandung di dalam cerita, namun apa isi tema itu sendiri tidak mudah
ditunjukan.
Semi
(1984:35) menyatakan bahwa tema merupakan suatu gagasan sentral, sesuatu yang
hendak diperjuangkan dalam suatu tulisan atau karya fiksi. Sedangkan Muhardi
dan Hasanudin (1992:8) menyatakan bahwa tema adalah inti permasalahan yang
hendak dikemukakan pengarang dalam karyanya. Oleh sebab itu tema merupakan
hasil konkluksi dari berbagai peristiwa yang terkait dengan penokohan dan
latar. Jadi dapat disimpulkan bahwa tema yaitu suatu pokok / inti persoalan
yang mendasari suatu cerita.
Untuk
menemukan sebuah tema dalam sebuah karya fiksi, ia haruslah disimpulkan dari
keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu dari cerita
(Nugiantoro:1995:68) walau tema sulit ditemukan secara pasti, ia bukanlah makna
yang ”disembunyikan”, walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Dalam makalah ini, penulis akan menjabarkan dan menerangakan apa
itu hakikat tema, penggolongan tema, serta penafsiran tema dalam sebuah karya
fiksi.
BAB II
PEMBAHASAN
a) Hakikat Tema
Pengertian
tema sebagai salah satu unsur karya sastra, maupun untuk mendeskripsikan
pernyataan tema yang dikandung dan ditawarkan oleh sebuah cerita novel. Kedua
hal itu memang berkaitan. Kejelasan pengertian tema akan membantu usaha
penafsiran dan pendeskripsian pernyataan tema sebuah karya fiksi. Tema (theme),
menurut Stanton (1965:20) dan Kenny (1966: 88), adalah makna yang dikandung
oleh sebuah cerita. Tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah
karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan
yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko dan
Rahmanto, 1986: 142). Tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita, maka ia
pun bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Pengertian tema menurut Staton
(1965: 21) yaitu yang mengartikan tema sebagai makna sebuah cerita yang secara
khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema
menurutnya, kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama (central idea)
dan tujuan utama (central purpose).
b) Permasalahan Tema Dan Kaitannya Dengan
Unsur Cerita Yang Lain.
Tema
sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman) kehidupan.
Melalui karyanya itulah pengarang menawarkan makna kehidupan, mengajak pembaca
untuk melihat, merasakan, dan menghayati makna (pengalaman) kehidupan tersebut
dengan cara memandang permasalahan itu sebagaimana ia memandangannya. Oleh
karena itu, banyak pengarang memilih dan mengangkat berbagai masalah hidup dan
kehidupan itu menjadi tema dan atau sub-sub tema ke dalam karya fiksi sesuai
dengan pengalaman, pengamatan, dan aksi-interaksinya dengan lingkungan. Pemilihan
tema-tema tertentu ke dalam sebuah karya, sekali lagi, bersifat subjektif:
masalah kehidupan manakah yang paling menarik perhatian pengarang sehingga
merasa terdorong untuk mengungkapkannya ke dalam bentuk karya. Atau pengarang
menganggap masalah itu penting, mengharukan, sehingga ia merasa perlu untuk
mendialogkannya ke dalam karya sebagai sarana mengajak pembaca untuk ikut
merenungkannya.
Tema dalam
sebuah karya sastra, fiksi hanyalah merupakan salah satu dari sejumlah unsur
pembangun cerita yang lain, yang secara bersama membentuk sebuah
kemenyeluruhan. Tema sebuah cerita tidak mungkin disampaikan secara langsung,
melainkan hanya secara implisit melalui cerita. Unsur-unsur ceria yang lain,
khususnya yang oleh Stanton dikelompokkan sebagai fakta cerita-tokoh, plot,
latar-yang bertugas mendukung dan menyampaikan tema tersebut.
Di pihak
lain, unsur-unsur tokoh (dan penokohan), plot (dan pemplotan), latar (dan
pelataran), dan cerita, dimungkinkan menjadi padu dan bermakna jika di ikat
oleh sebuah tema. Tema bersifat memberi koherensi dan makna terhadap ke empat
unsur tersebut dan juga berbagai unsur fiksi yang lain. Plot dipihak lain,
berkaitan erat dengan tokoh cerita. Plot pada hakikatnya adalah apa yang
dilakukan oleh tokoh dan peristiwa apa yang terjadi dan dialami tokoh (Kenny,
1966: 95). Plot merupakan penyajian secara linear tentang berbagai hal yang
berhubungan dengan tokoh, maka pemahaman kita terhadap cerita amatditentukan
oleh plot. Latar merupakan tempat, saat, dan keadaan sosial yang menjadi wadah
tempat tokoh melakukan dan dikenai sesuatu kejadian. Latar bersifat memberikan
aturan permainan terhadap tokoh. Latar akan mempengaruhi tingkah laku dan cara
berpikir tokoh, dan karenanya akan mempengaruhi pemilihan tema. Atau
sebaliknya, tema yang (sudah) dipilih akan menuntut pemilihan latar (dan tokoh)
yang sesuai dan mampu mendukung.
c) Penggolongan Tema
a. Tema Tradisional dan Nontradisional
Tema
tradisional dimaksudkan sebagai tema yang menunjuk pada tema yang hanya itu-itu
saja, dalam arti ia telah lama dipergunakan dan dapat ditemukan dalam berbagai
cerita, termasuk cerita lama. Tema-tema tradisional walau banyak variasinya,
boleh dikatakan selalu ad kaitannya dengan masalah kebenaran dan kejahatan
(Meredth & Fitzgerald, 1972: 66). Pada
umumnya tema-tema tradisional merupakan tema yang digemari orang dengan status
sosial apa pun, di manapun, dan kapanpun. Hal itu disebabkan pada dasarnya
setiap orang cinta akan kebenaran dan membenci sesuatu yang sebaliknya, (bahkan
mungkin) termasuk orang yang sebenarnya tak tergolong baik sekalipun.
Selain
hal-hal yang bersifat tradisional, tema sebuah karya mungkin saja mengangkat
sesuatu yang tidal lazim, katakan sasuatu yang bersifat nontradisional. Karena
sifatnya yang nontradisional, tema yang demikian, mungkin tidak sesuai dengan
harapan pembaca, bersifat melawan arus, mengejutkan,
bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi afektif yang
lain.
b. Tema Utama dan Tema Tambahan
Tema pada
hakikatnya merupakan makna yang dikandung cerita, atau secara singkat : makna
cerita. Makna cerita dalam sebuah fiksi-novel, mungkin saja lebih dari satu,
atau lebih tepatnya lebih dari satu interpretasi. Hal inilah yang menyebabkan
tidak mudahnya kita untuk menentukan tema pokok cerita, atau tema mayor (artinya
: makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu).
Menentukan tema pokok sebuah cerita pada hakikatnya merupakan aktivitas
memilih, mempertimbangkan, dan menilai, diantara sejumlah makna yang
ditafsirkan ada dikandung oleh karya yang bersangkutan.
Makna
pokok cerita tersirat dalam sebagian besar, untuk tidak dikatakan dalam
kesekuruhan cerita bukan makna yang hanya terdapat pada bagian-bagian tertentu
cerita saja. Makna yang hanya terdapat pada bagian –bagian tertentu cerita
dapat diidentifikasi sebagai makna bagian, makna tambahan. Makna-makna tambahan
inilah yang dapat disebut sebagai tema-tema tambahan, atau tema minor.
Dengan demikian, banyak sedikitnya tema minor tergantung pada banyak sedikitnya
makna tambahan yang dapat ditafsirkan dari sebuah cerita novel. Penafsiran
makna itu pun haruslah dibatasi pada makna-makna yang terlihat menonjol,
disamping mempunyai bukti-bukti konkrit yang terdapat pada karya itu yang dapat
dijadikan dasar untuk mempertanggungjawabkannya. Artinya, penunjuk kan dan atau
penafsiran sebuah makna tertentu pada sebuah karya itu bukannya dilakukan
secara ngawur saja.
c. Tingkatan Tema Menurut Shipley
Shipley
dalam Dictionary of World literature (1962: 417), mengartikan
tema sebagai subjek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke
dalam cerita. Shipley membedakan tema-tema karya sastra ke dalam
tingkatan-tingkatan semuanya ada lima tingkatan berdasarkan tingkatan
pengalaman jiwa, yang disusun dari tingkatan yang paling sederhana, tingkat
tumbuhan dan makhluk hidup, ke tinggkat yang paling tinggi yang hanya dapat
dicapai oleh manusia. Kelima tingkatan tema tersebut sebagai berikut.
1. Tema
tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) molekul, man
as molecul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan
atau ditunjukkan oleh banyaknya aktifitas fisik dari pada kejiwaan.Ia lebih
menekankan mobilitas fisik dari pada konflik kejiwaan tokoh cerita yang
bersangkutan. Unsur latar dalam novel dengan penonjolan tema tingkat ini
pendapat penekanan.
2. Tema
tingkat organik, manusia sebagai ( atau dalam tingkat kejiwaan)
protoplasma, man as protoplasm. Tema karya sastra tingkat ini lebih
banyak menyangkut dan atau mempersoalkan masalah seksualitas- suatu aktifitas
yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup. Berbagai persoalan kehidupan
seksual manusia mendapat penekanan dalam novel yang bersifat menyimpang,
misalnya berupa penyelewengan dan penghianatan suami istri, atau
skandal-skandak seksual yang lain.
3. Tema
tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial, man as socious.
Kehidupan bermasyarakat, yang merupakan tempat aksi-interaksinya manusia dengan
sesama dan dengan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik, dan
lain-lain yang menjadi objek pencarian tema.masalah-masalah sosial itu antara
lain berupa masalah ekonomi, politik, pendidikan, kebudayaan, perjuangan, cinta
kasih, propaganda, hubungan atasan-bawahan dan berbagai masalah dan hubungan
sosial lainnya yang biasanya muncul dalam karya yang berisi kritik sosial.
4. Tema
tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as individualism.
Disamping sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk
individu yang senantiasa “menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam
kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun mempunyai banyak
permasalahan dan konflik, misalnya yang berwujud reaksi manusia terhadap
masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Masalah individu itu antara lain
berupa masalah egoisitas, martabat, harga diri atau sifat dan sikap tertentu
manusia lainnya, yang pada umumnya lebih bersifat batin dan dirasakan oleh yang
bersangkutan. Masalah individualitas biasanya menunjukkan jati diri, citra
diri, atau sosok kepribadian sesearang.
d) Penafsiran Tema
Penafsiran
tema sebuah novel memang bukan pekerjaan yang mudah. Walau betul penulisan
sebuah novel didasarkan pada tema atau ide tertentu, pernyataan tema itu
sendiri pada umumnya tidak dikemukakan secara eksplisit. Tema hadir dan berpadu
dengan unsur-unsur struktural yang lain sehingga yang kita jumpai dalam sebuah
novel adalah (hanya) cerita dan kedudukan tema tersembunyi dibalik cerita itu.
Penafsiran tema terhadap suatu karya sastra atau fiksi haruslah dilakukan
berdasarkan fakta-fakta yang ada yang secara keseluruhan membangun cerita itu.
Kita haruslah mulai dengan memahami cerita itu, mencari kejelasan ide-ide
perwatakan, peristiwa-peristiwa-konflik, dan latar. Para tokoh utama biasanya
dibebani tugas membawakan tema, maka kita perlu memahami keadaan itu. Secara
lebih khusus dan rinci, Stanton (1965: 22-3) mengemukakan adanya sejumlah
kriteria yang dapat di ikuti dalam penafsiran tema seperti berikut :
1. penafsiran
tema sebuah novel hendaknya mempertimbangkan tiap detil cerita yang
menonjol. Kriteria ini merupakan hal yang paling penting. Hal itu disebabkan
pada detil-detil yang menonjol (atau ditonjolkan) itulah yang dapat
diidentifikasi sebagai tokoh masalah-konflik utama pada umumnya sesuatu yang
ingin disampaikan ditempatkan.
2. penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak
bersifat bertentangan dengan tiap detil cerita. Novel, sebagai salah satu genre
sastra, merupakan suatu sarana pengungkapan keyakinan, kebenaran, ide, gagasan,
sikap dan pandangan hidup pengarang, dan lain-lain yang tergolong unsur isi dan
sebagai sesuatu yang ingin disampaikan.
3. penafsiran tema sebuah novel hendaknya tidak
mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung
maupun tak langsung dalam novel yang bersangkutan.
4. penafsiran
tema sebuah novel haruslah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara
langsung ada dan atau yang disarankan dalam cerita.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan di atas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
a) bahwa tema merupakan suatu pokok / inti
persoalan yang mendasari suatu cerita. Tema biasanya diangkat dari masalah
kehidupan. Tema dalam sebuah karya sastra hanya berupa makna atau gagasan dasar
umum suatu cerita. Dengan demikian, tema akan menjadi sebuah makna cerita jika
terdapat keterkaitannya dengan unsur-unsur cerita lainnya.
b) Tema dapat digolongkan menjadi 3 kelompok:
1. Penggolongan
tema yang bersifat tradisional dan tema nontradisional.
2. Penggolongan
dilihat dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley.
3. Penggolongan
dari tingkat keutamaannya.
c) Penafsiran tema terhadap suatu karya
sastra atau fiksi hendaknya dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ada yang
secara keseluruhan membangun cerita itu. Seperti, dengan memahami cerita itu,
mencari kejelasan ide-ide perwatakan, peristiwa-peristiwa-konflik, dan latar.
Para tokoh utama biasanya dibebani tugas membawakan tema, maka kita perlu
memahami keadaan seperti demikian itu.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar